May 24, 2014 - 46.al bani israil ayat no.104 to 107.dt.10.11.18 45.al bani israil ayat no.101.102.103.dt.09.11.18 44.al bani israil ayat no.100.101.dt.06.11.18.
فبما رحمه من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الامر فاذا عزمت فتوكل علي الله ان الله يحب المتوكلينArtinya: “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya'. Penjelasan Firman ini ditujukan kepada Rasulullah SAW. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka. Diingatkan-Nya kepada beliau dan kepada mereka akan rahmat Allah yang terlukis di dalam akhlak beliau yang mulia dan penyayang, yang menjadi tambatan hati para pengikut beliau.
Hal itu dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang tersimpan di dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli tindakan mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat nikmat Ilahi yang berupa nabi yang penyayang ini. Kemudian diserunya mereka, dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau bisa bermusyawarah dengan mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam kehidupan Islami.
”Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” Inilah rahmat Allah yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau begitu penyayang dan lemah lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati masyarakat di sekitar beliau tidak akan tertarik kepada beliau dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, jiwa dan kepenyantunan yang tidak menjadi sempit karena kebodohan, kelemahan, dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada mereka dan tidak membutuhkan pemberian dari mereka, yang mau memikul duka derita mereka dan tidak menginginkan duka deritanya dipikul mereka, dan yang senantiasa mereka dapatkan padanya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan, kelapangan dada, cinta kasih, dan kerelaan.
Demikianlah hati Rasulullah SAW. Dan kehidupan beliau bersama masyarakat. Beliau tidak pernah marah karena persoalan pribadi, tak pernah sempit dadanya menghadapi kelemahan mereka selaku manusia, dan tak pernah mengumpulkan kekayaan dunia untuk dirinya sendiri, bahkan beliau berikan kepada mereka apa yang beliau miliki dengan lapang dada dan rasa lega. Kepenyantunan, kesabaran, kebajikan, kelemahlembutan, dan cinta kasihnya yang mulia senantiasa meliputi mereka. Tidak ada seorangpun yang bergaul dengan beliau atau melihat wajah beliau, melainkan hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada beliau, sebagai hasil dari apa yang dilimpahkan beliau dari jiwa beliau yang besar dan lapang.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada ku untuk mengelilingi ummatku sebagaimana Allah memerintahkanku dalam melaksanakan ibadah fardhu”. Yang demikian itu adalah gambaran bagaimana Rasulullah menjalin kasih sayang terhadap kaum Muslimin dengan membiasakan diri bersilaturrahmi ke rumah-rumah mereka di tempat kediaman mereka, sehingga terjalinlah hubungan persaudaraaan yang terukir di dalam kalbu. Beliau sanantiasa berlapang dada untuk meaafkan kesalahan ummat, bahkan senantiasa memohonkan ampun bagi mereka sebagaimana Allah perintahkan kepada beliau. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” Dengan nash yang tegas ini, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan hingga Muhammad Rasulullah SAW. Sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa syura merupakan prinsip dasar dimana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain.
Adapun bentuk syura beserta implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka, semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, buka sekedar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam.
Syura atau musyawarah merupakan sendi Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam kondisi yang bagaimanapun musyawarah merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Begitu contoh teladan dari Rasulullah dan khalifah sesudahnya. Kebiasaan ini telah ditempuh Rasulullah sejak mengawali langkah dakwahnya.
Hampir semua urusan ummat dirundingkan bersama, bahkan hingga urusan-urusan kecil. Abu Hurairah pernah berkomentar, 'Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya melebihi Rasulullah saw.' Musyarawah nampaknya sudah menjadi karakter Rasulullah. Meskipun beliau telah mendapatkan wahyu dan petunjuk langsung dari Allah sebagai suatu kebenaran yang mutlak, tapi beliau tetap meminta pendapat para sahabat. Hal ini dilakukan bukan karena beliau tidak tahu persoalan dan tidak mengerti solusi pemecahannya, tapi karena beliau ingin mewariskan nilai-nilai musyawarah kepada ummatnya. Agar musyawarah menjadi tradisi ummat Islam.
Referensi Quthb,Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani. Artikel Terkait.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ fabimaa rahmatin mina laahi linta lahum walaw kunta fazhzhan ghaliizha lqalbi lanfadhdhuu min hawlika fa'fu 'anhum wastaghfir lahum wasyaawirhum fii l-amri fa-idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa laahi inna laaha yuhibbu lmutawakkiliin ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS.ali-Imran:159) B. Asbabun Nuzul Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 159. Sebab-sebab turunnya ayat 159 surat Ali-Imran ini kepada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. Menjelaskan bahwasanya setelah terjadi perang Badar Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar r.a.
Dan Umar bin Khattab r.a. Untuk meminta pendapat mereka tentang para tawanan perang Badar. Abu Bakar r.a.
Berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. Berpendapat, mereka sebaiknya dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga mereka. Rasulullah saw. Kesulitan dalam memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imran ini sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar r.a.
(Depag,2011:Al-Quran Tafsir Perkata, hal.72) C. Isi Kandungan Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 159. Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi Rasulullah saw. Tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta memohonkan ampun kepada Allah Swt.
Terhadap kesalahan-kesalahan mereka. Di samping itu, Rasulullah Saw juga senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap keputusanyang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama Rasulullah Saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt. Keluhuran budi Rasulullah Saw inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.
Dalam ayat di atas tertera tiga sifat dan sikap yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama ketika hendak bermusyawarah. Sedangkan sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya.
Jika semua peserta musyawarah bersikap “memaafkan” maka yang terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain. Dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilainilai dalam demokrasi seperti dalam Firman Allah Swt. Al Isra':70, QS.
Al-Baqarah:30, QS. Al Hujurat:13, QS. Asy-Syura:38 serta berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang merupakan unsur-unsur dalam demokrasi. Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadits Rasulullah Saw yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau dikenal sebagai pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut: Dari Abu Hurairah, ia berkata, ' Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.”.
Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut pandangan para sahabat, Rasulullah Saw adalah orang yang paling suka bermusyawarah. Dalam banyak urusan yang penting beliau senantiasa melibatkan para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan strategi perang. Sikap Rasulullah Saw tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan kerendahan hatinya (tawadhu’), meskipun memiliki status sosial paling tinggi dibanding seluruh umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt. Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. Itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy (dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal bisa saja Rasulullah Saw memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah Saw, manusia agung yang tawadhu’ dan bijaksana. Sikap rendah hati Rasulullah Saw hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak.
Itulah Rasulullah, teladan terbaik dalam berakhlak. Dari ayat al-Qur'an dan hadits Nabi tersebut dapat dipahami bahwa musyawarah termasuk salah satu kebiasaan orang yang beriman.
Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan, misalnya: Hal yang sangat penting, sesuatu yang ada hubungannya dengan orang banyak/ masyarakat, pengambilan keputusan dan lain-lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, musyawarah menjadi sangat penting karena: a. Permasalahan yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh orang banyak lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
Akan terjadi kesepahaman dalam bertindak. Menghindari prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang banyak d.
Melatih diri menerima saran dan kritik dari orang lain e. Berlatih menghargai pendapat orang lain.